Penolakan Sesekali Juga Perlu Dirayakan



Ada sebuah postingan dari tokoh Psikolog UGM, namanya Kak Fakhira, yang menyebutkan kalau kegagalan/penolakan juga bisa dirayakan. 

Mengapa perlu dirayakan? Bukankah itu hal yang sudah semestinya membuat sedih dan kecewa? 

Beliau menjelaskan kalau dari sebuah kegagalan/penolakan, kita bisa belajar banyak hal berharga yang pasti sulit didapat jika kita mendapatkan keberhasilan selalu. Yes. Saya juga ingin merayakan penolakan yang saya dapatkan beberapa waktu lalu. Ditolak sebuah jurnal :) 

Tepatnya satu setengah tahun yang lalu, saya submit sebuah artikel ilmiah ke salah satu jurnal sinta 2. Topik artikel saya tentang kajian linguistik forensik. Hampir satu tahun, saya mendapat balasan dari pihak jurnal kalau artikel saya perlu revisi. Wah, senangnya bukan main karena mendapat respons dari pihak jurnal. 

Beberapa kali saya melakukan revisi. Hingga pada keputusan akhir, artikel saya ditolak. Rasanya cukup sakit setelah beberapa kali saya merevisi artikel tsb. Namun, itulah keputusan akhir dari pihak jurnal. Berikut kutipan pesan dari pihak jurnal yang lumayan bikin sakit tapi tak berdarah. 

An initial review of "judul artikel saya" has made it clear that this submission contains sensitive context and unclear analysis, so it does not relevant with ******* regulation. Thus, our decision is "Reject Manuscript".
I recommend you to change the main context or another sensitive part so it will be suitable with our scope and focus as well. You might also consider submitting this manuscript to another or more suitable journal. Please, take a deep consideration of your paper and do proof-reading before submit it to a journal. 




Artikel tsb sebenarnya adalah tugas kuliah saya yang sudah dicek oleh dosen. Sayangnya, saya submit ke jurnal, pihak jurnal yang saya tuju menganggap isi artikel tsb cukup sensitif. 

Dari penolakan itu, saya belajar kalau isi artikel saya memang terbilang sensitif. Sensitif karena mengkaji wacara dari seorang tokoh akademisi yang pada tahun 2022 sempat viral dan masuk berita. Saya sebenarnya juga mengumpulkan berbagai pendapat dari beberapa tokoh di media online yang juga menyebutkan wacana tokoh akademisi tsb bisa dikategorikan melanggar unsur SARA. Lalu, analisis saya dalam artikel tsb mengupas dari sisi kebahasaan. Ternyata, tetap dianggap konten sensitif. 

Dari penolakan tadi, saya tetap menghormati regulasi jurnal tsb. Seperti belum jodohnya saja artikel saya dipublikasi di sana. 

Memang ya, penolakan itu tak selamanya buruk. Kita bisa belajar untuk muhasabah diri sekaligus merayakannya. Merayakan dengan mengambil hikmah dan terus semangat belajar. 

 
Sumber gambar sampul artikel dari pixabay.com 











Post a Comment for "Penolakan Sesekali Juga Perlu Dirayakan"