Relasi Gender dan Ketahanan Keluarga pada Cerpen “Gincu Ini Merah, Sayang” Karya Eka Kurniawan
Menurut Cahyaningtyas (2016), ketahanan
keluarga merupakan alat untuk mengukur pencapaian keluarga dalam melaksanakan
peran, fungsi, dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anggota.
Tingkat ketahanan keluarga ditentukan oleh perilaku individu dan masyarakat.
Individu dan keluarga yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ketahanan
keluarga yang baik, akan mampu bertahan dengan perubahan struktur, fungsi dan
peranan keluarga yang berubah sesuai perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Individu dan keluarga yang mampu bertahan dengan perubahan
lingkungan, berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang kuat.
Ketahanan keluarga menjadi tolok ukur
kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar dan kemampuan keluarga untuk
melakukan kegiatan yang produktif. Otto (McCubbin 1988) menyebutkan komponen
ketahanan keluarga (family strengths) meliputi: (a) keutuhan keluarga,
loyalitas dan kerja sama dalam keluarga; (b) ikatan emosi yang kuat; (c) saling
menghormati antar anggota keluarga; (d) fleksibilitas dalam melaksanakan peran
keluarga; (e) kemampuan pengasuhan dan perawatan dalam tumbuh kembang anak; (f)
komunikasi yang efektif; (g) kemampuan mendengarkan dengan sensitif; (h) pemenuhan
kebutuhan spiritual keluarga; (i) kemampuan memelihara hubungan dengan
lingkungan luar keluarga; (j) kemampuan untuk meminta bantuan apabila
dibutuhkan; (k) kemampuan untuk berkembang melalui pengalaman; (l) mencintai
dan mengerti; (m) komitmen spiritual; (n) berpartisipasi aktif dalam masyarakat.
Keluarga termasuk sistem rabbani
bagi manusia yang mengandung semua karakteristik dasar fitrah manusia,
kebutuhan, dan unsurnya. Keluarga juga merupakan tempat pengasuhan alami untuk
melindungi anak yang baru tumbuh, merawatnya, serta mengembangkan fisik, akal,
dan spiritualitasnya. Dalam naungan keluarga, perasaan cinta, empati, dan
solidaritas berpadu dan menyatu. Keluarga bagaikan miniatur yang akan menjadi
sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari sopan santun dan segala hal yang
menjadi dasar pembentukan kepribadian anak. Menurut Syuqqah (2000), keluarga termasuk
organisasi yang mempunyai kekhususan-kekhususan dan ditegakkan atas dasar cinta
kasih, kemudian hubungan internalnya terjalin dengan suatu cara yang tidak
terdapat dalam organisasi manapun.
Suami dan istri memiliki porsi tugas yang sama
untuk menjaga keharmonisan keluarga. Pembentukan keluarga sakinnah, mawaddah,
dan warahmah menjadi tanggung jawab bersama tanpa adanya berat sebelah. Relasi
suami istri yang baik akan memengaruhi ketahanan keluarga yang baik, seimbang,
dan harmonis. Hasil penelitian Razak et al. (2015) menemukan bahwa kualitas
pernikahan dipengaruhi oleh berbagai aspek, salah satunya yaitu cara suami dan
istri merespons stres yang dihadapi dan mencapai suatu kesepakatan. Sehingga,
komunikasi yang terjadi pada keluarga khususnya suami istri memegang peran
penting untuk menjaga kualitas pernikahan dalam menjaga ketahanan keluarga.
Rakmat (2007) mengatakan bahwa terdapat
tiga faktor yang dapat menumbuhkan hubungan interpersonal dalam upaya mencapai
keberhasilan komunikasi interpersonal dalam keluarga, yaitu (1) adanya sikap
percaya suami terhadap istri maupun sebaliknya. Kepercayaan ini merupakan
sebuah bukti bahwa mereka tidak akan saling menghianati. Sikap percaya dalam
keluarga akan terbangun apabila keduanya saling jujur dan saling menerima; (2)
adanya sikap suportif atau sikap saling mendukung dan saling menghargai
sehingga keduanya dapat menghilangkan sikap defensif yang cenderung menutup
diri dalam setiap aktivitas komunikasi yang dilakukan; (3) adanya sikap terbuka
yang nantinya dapat mendorong timbulnya saling pengertian, saling memahami dan
saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal antara suami dan istri
dalam upaya mencapai komunikasi interpersonal yang baik dan efektif dalam
keluarga. Devito (2016) juga mengemukakan bahwa terdapat lima faktor yang dapat
menentukan efektivitas komunikasi interpersonal, yaitu adanya keterbukaan,
empati, sikap suportif, sikap positif, dan adanya kesetaraan. Oleh karena itu,
suami dan istri mesti sama-sama berperan untuk membawa nakhoda rumah tangga mereka
menuju kebahagiaan dan kesejahteraan.
Salah satu karya sastra yang membahas isu relasi
suami istri dan ketahanan keluarga adalah cerpen yang ditulis oleh Eka
Kurniawan dengan judul “Gincu Ini Merah, Sayang”. Karya menawan ini merupakan
salah satu cerpen yang ada pada buku kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati
yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.
Eka Kurniawan adalah penulis Indonesia
yang pernah terpilih sebagai salah satu “Global Thinker of 2015” dari
jurnal Foreign Policy. Pada tahun 2016, ia menjadi penulis Indonesia
pertama yang dinominasikan untuk Man Booker International Prize, sebuah
penghargaan sastra internasional yang diselenggarakan di Britania Raya. Alumnus
Filsafat Universitas Gadjah Mada ini juga dikenal sebagai penulis yang sering
mengangkat isu keperempuanan dalam karyanya.
Eka Kurniawan telah menelurkan banyak
karya berupa cerpen dan novel, seperti Corat-Coret di Toilet (2000), Cantik
Itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Cinta Tak Ada Mati dan
Cerita-Cerita Lainnya (2005), Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
(2014), dan karya lainnya.
Dari sekian banyak karya Eka Kurniawan,
“Gincu Ini Merah, Sayang” menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan perspektif
relasi gender dan ketahanan keluarga. Cerita pendek ini menarik karena memuat kisah
perempuan yang sangat setia pada suami meski telah dituduh berselingkuh. Karena
faktor komunikasi yang tidak berjalan efektif dan gincu merah yang dikenakan
Marni, sang suami tega memvonis istrinya dengan melibatkan masa kelamnya dulu.
Relasi
Gender pada Cerita Pendek “Gincu Ini Merah, Sayang”
Cerpen “Gincu Ini Merah, Sayang” merupakan
sebuah cerita yang mengisahkan seorang perempuan bernama Marni. Ia bekerja di
bar dangdut, tempat remang-remang yang berada di sepanjang Jalan Daan Mogot.
Ketika suatu hari Marni sudah bersolek dan siap mencari pelanggan, bertemulah
ia dengan Rohmat Nurjaman. Sosok yang awalnya dianggap Marni sebagai pelanggan
biasa ternyata ingin menjalin hubungan lebih.
Awalnya, Marni tidak berniat ingin jadi
pelacur di bar dangdut itu. Ia hanya diajak temannya yang bernama Maridah untuk
ikut menemani pelanggan minum bir. Marni pun menurut. Namun, kenyataannya tak
seperti yang Marni harapkan. Para pelanggan tentu tak hanya ingin ditemani
minum saja. Tangan para pelanggan lelaki itu tak bisa diam. Jemari mereka
cenderung bergerak, awalnya hanya menyentuh tangan, lama-lama merayap ke segala
arah. Dari sinilah Marni tahu, jika ingin mendapat uang lebih banyak, ia mesti
tidur dengan mereka.
Pertemuan Marni dengan Rohmat Nurjaman tak
berbeda jauh dengan pertemuannya bersama pelanggan lainnya. Bedanya, Marni
selalu diajak Rohmat keluar selepas bar tutup. Mereka menyewa motel untuk
memadu kasih. Dengan begini, Marni mendapat untung karena tak perlu membagi
penghasilannya dengan pemilik bar. Perlakuan lain dari Rohmat inilah yang
membuat Marni jatuh hati. Hingga akhirnya, Rohmat menjadi pelanggan tetap.
Karena sama-sama dimabuk asmara, Rohmat
mengajak Marni untuk kabur dari bar Belanda itu dan meminangnya. Marni
mengiyakan. Mereka pun pergi ke pedalaman Banyumas dan menikah. Lalu, Rohmat
membawa Marni ke Jakarta dan tinggal di sebuah rumah mungil agak di luar kota.
Eka Kurniawan mulai menambahkan bumbu
konflik pada kehidupan Rohmat dan Marni selepas menikah. Rohmat dan Marni
saling menaruh curiga dan khawatir dengan masa lalu pasangan mereka. Mereka
selalu dihantui mimpi buruk yang mengingatkannya pada kenangan buruk di bar.
Ternyata itu
bukan perkawinan yang mudah. Pada hari-hari pertama perkawinan mereka, Rohmat
Nurjaman sering didera mimpi melihat istrinya ditiduri para pelanggan lain di
kamar-kamar Beranda. Karena Rohmat Nurjaman tahu di suatu masa mimpinya
merupakan kebenaran, ia sering dilanda kecemburuan begitu terbangun dari tidur.
Marni juga didera khayalan yang mengganggu, membayangkan suaminya pergi ke
Beranda dan meniduri gadis lain. Ini pun pernah terjadi dan mereka berdua tahu.
Kecemburuan
itu membawa mereka pada pertengkaran kecil, yang lalu diselamatkan oleh cinta.
Suatu hari, di bulan ketujuh belas pernikahan mereka, keduanya berjanji untuk
tak lagi mengenang masa lalu dan mengubur habis semua kecemburuan. Setelah itu
segalanya berjalan lebih baik. (Kurniawan, 2015)
Dari
kutipan di atas, tampak adanya konflik batin yang dialami Rohmat dan Marni.
Mereka saling menyimpan curiga karena pengaruh masa lalu masing-masing. Kondisi
yang mereka alami menandakan rasa ketidakpercayaan satu sama lain. Meski
begitu, pada hari ketujuh belas pernikahan, mereka sepakat untuk mengubur masa
lalu yang kelam itu.
Meski
sudah sepakat untuk sama-sama mengubur masa lalu, masalah muncul kembali. Rohmat
Nurjaman mempermasalahkan gincu yang sering dipakai istrinya itu. Gincu yang
sama sebagaimana ia pernah melihatnya di keremangan bar Belanda. Ia ternyata
masih menaruh prasangka buruk pada istrinya.
Marni
masih mempergunakan gincu yang sama dan dengan cara yang sama. Rohmat Nurjaman
ingin melarangnya, tapi berpikir jika ia melakukannya, itu hanya akan
mengingatkan kepada masa-masa mereka di bar. Dari pagi ke pagi, dari senja ke
senja, gincu itu semakin mengganggunya. Hingga akhirnya Rohmat Nurjaman mulai
bertanya-tanya apa yang dilakukan istrinya sementara ia pergi bekerja.
Rohmat Nurjaman
tak pernah berhasil membuktikan kecurigaan atas istrinya. Bahkan, meskipun
beberapa kali ia sengaja mendadak pulang, ia selalu menemukan istrinya ada di
rumah, menunggunya. (Kurniawan, 2015)
Memang ketika Rohmat dan Marni mengikrarkan pernikahan,
keduanya telah berjanji untuk menjalani hidup baru sebagai suami dan istri,
bukan pelayan bersama pelanggannya. Namun ternyata, selain Rohmat, Marni
pun menaruh rasa curiga pada suaminya karena perubahan sikapnya yang berbeda
drastis.
Hingga
tiga tahun perkawinan mereka, Marni mendapati suaminya berubah. Rohmat Nurjaman
sering tak pulang dan tak lagi mencumbunya dengan kegairahan seorang lelaki
cabul. Barangkali aku tak lagi cantik, pikirnya. Barangkali karena tak juga
kami punya anak, katanya kepada diri sendiri. Atau barangkali suaminya pergi
kembali ke Beranda dan menemukan gadis yang lebih manis di sana? Barangkali
gadis itu masih empat belas tahun dan mengoleskan gincu lebih tebal di
bibirnya? Marni merasa panas namun mencoba membuang kecurigaan tersebut. Meski
begitu, suatu malam ketika suaminya tak juga muncul selewat pukul dua belas dan
pertanyaan-pertanyaan di kepalanya tak pula menemukan jawaban, perempuan itu
memutuskan keluar rumah.
Marni memoleskan
gincu ke bibirnya, percaya itu akan membuat Rohmat Nurjaman kembali ke
pelukannya. Ia menghentikan sebuah taksi dan minta diantar ke Beranda. Di sana,
atas nama peraturan daerah tentang pelacuran, lima orang petugas menangkap
Marni. Sejujurnya ia mulai menganggap semua itu hukuman untuknya, yang telah
berburuk sangka suaminya pergi ke Beranda untuk meniduri perempuan lain.
Menurut dia, itu malam buruk yang diawali pikiran buruk dan ia sungguh
menyesal. (Kurniawan, 2015)
Kutipan di atas memperlihatkan jika relasi
Rohmat dan Marni sebagai suami istri sudah tidak sehat dan perlu segera
diselesaikan. Antar-keduanya sudah sama-sama menaruh curiga karena selalu
terbayang dengan masa lalunya sebagai pelacur dan pelanggan. Jika rasa curiga
ini tidak diatasi dengan solusi, dampak yang ditimbulkan akan meledak kapan
saja bagaikan bom waktu. Otto (McCubbin 1988) menyebutkan bahwa komunikasi yang
efektif termasuk salah satu komponen ketahanan keluarga. Komunikasi menjadi
salah satu kunci penting untuk menjaga keharmonisan hubungan. Jika tak ada lagi
komunikasi yang baik, setiap permasalahan yang muncul bisa berpengaruh besar
pada ketahanan keluarga, khususnya bila masih di bawah usia pernikahan lima
tahun.
Ketahanan
Keluarga yang Rapuh pada Cerita Pendek “Gincu Ini Merah, Sayang”
Rasa kecurigaan yang dipendam oleh Marni dan Rohmat ternyata berujung fatal. Pada suatu malam Marni memakai gincu merah demi menarik perhatian suaminya kembali. Namun, kecurigaannya yang besar pada Rohmat yang sedang selingkuh membawanya pergi ke bar untuk membuktikan. Nahas, hari itu bertepatan dengan penertiban yang dilakukan oleh petugas. Marni sangat bingung dan panik karena ikut tertangkap. Padahal, ia tak terlibat lagi dalam kegiatan pemuas birahi di bar itu.
Yang tak diduga
Marni, nama perempuan bergincu itu, lima petugas tiba-tiba menghampiri dirinya,
sebelum menangkap dan membawanya ke pick-up.
Aku hanya seorang
ibu rumah tangga,” katanya, setelah keterkejutannya reda.
“Katakan itu
nanti kepada suamimu,” seorang petugas menjawab.
Ini pasti malam
yang buruk, pikirnya. Para petugas itu bicara mengenai peraturan daerah tentang
pelacuran dan memperlakukannya seolah-olah ia pelacur. Dalam hatinya, ia
mengakui pernah menjadi pelacur, tapi malam ini ia berani bersumpah bahwa
dirinya hanya seorang ibu rumah tangga. Ia belum punya anak memang, Tuhan belum
memberinya, tapi ia punya suami. Para petugas tak menggubris soal itu. Menurut
mereka, semua pelacur selalu merasa punya suami dan mengaku hanya seorang ibu
rumah tangga.
Bersama gadis-gadis dari bar, mereka membawanya ke kantor polisi dan memperoleh interogasi sepanjang malam. Ia meminta gadis-gadis itu membantunya meyakinkan para petugas bahwa dirinya bukan bagian dari mereka. Tapi tiga tahun berlalu dan ia tak lagi mengenali gadis-gadis itu, demikian pula mereka tak mengenalinya. Semuanya gadis baru dan ia tak menemukan teman-teman lamanya di antara mereka. Gadis-gadis itu tak punya gagasan tentang siapa perempuan itu dan apa yang dilakukannya di pintu Beranda pada pukul setengah dua malam. (Kurniawan, 2015)
Kutipan di atas menggambarkan betapa
sialnya nasib Marni hari itu. Tragedi salah tangkap itu membawa dampak besar
bagi ketahanan keluarganya bersama Rohmat. Menjelang ganti hari, Marni hanya
bisa menangis tanpa henti. Ia takut kalau suaminya pasti khawatir dan saat ini
sedang kebingungan mencarinya. Hingga akhirnya, di pagi hari, ada perempuan
dari dinas sosial yang baik hati mau menghubungi suami Marni. Setelah bicara
dengan Rohmat Nurjaman, suami Marni, perempuan dari dinas sosial itu kemudian
berbaik hati mengantarkan Marni pulang. Penuh rasa syukur Marni mencuci muka,
menaburkan bedak yang dipinjam dari seorang gadis bar ke mukanya, dan
memoleskan gincu ke bibirnya. Ia akan pulang dan bertemu kembali dengan
suaminya.
Sesampainya di rumah, Marni dihadapkan pada keadaan yang tak
baik. Di atas sofa, tergeletak koper berisi barang-barangnya. Rohmat Nurjaman
berdiri di pintu kamar, memandang wajah istrinya, terutama gincu di bibir Marni
dengan sejenis tatapan kau-laksana-perempuan-binal, berkata pendek, “Sebaiknya
kita bercerai saja.”
Marni ingin menjelaskan, tetapi tak tahu
apa yang harus dijelaskan. Rohmat Nurjaman tampaknya juga tak menginginkan
penjelasan. Sebenarnya, Rohmat Nurjaman tak suka melihat istrinya mempergunakan
gincu. Tapi jika ia melarangnya, dan kemudian mengemukakan alasannya, ia
khawatir itu akan menyinggung perasaan istrinya. Marni pasti tak suka jika
kepadanya ia berkata, “Dengan gincu itu kau tampak serupa pelacur.”
Gincu seperti dijadikan simbol pelabelan pada diri Marni
sebagai perempuan. Jika ditelisik dari masa lalu, baik Marni maupun Rohmat
memiliki masa kelam yang buruk. Marni pernah bekerja sebagai pelacur di sebuah
bar. Rohmat juga pernah jadi pelanggan setia di bar. Namun, pada cerita pendek
tersebut, gincu dijadikan konteks sebagai pembelengguan diri
Marni. Terlihat jelas bahwa Rohmat selaku pria, ia menyatakan kebebasan
berpikirnya untuk menilai istrinya tanpa pertimbangan jelas. Lalu, tragedi
salah tangkap yang dirasakan Marni saat itu seakan menjadi bukti dukungan bagi
Rohmat bahwa Marni belum benar-benar lepas dari masa kelamnya.
Tanpa mendengar penjelasan istrinya,
Rohmat memutuskan untuk bercerai dengan Marni. Langkah yang diambil Rohmat ini mengesampingkan
verifikasi. Tanda ada niatan untuk meluruskan prasangkanya, Rohmat seketika mengambil
keputusan bulat secara sepihak. Dalam hal ini, ketahanan keluarga Rohmat dan
Marni sudah terbilang rapuh karena tidak adanya komunikasi efektif.
Seperti yang dijelaskan oleh Rakmat (2007)
bahwa faktor inti yang dapat menumbuhkan hubungan interpersonal keluarga adalah
sikap percaya, saling dukung, dan terbuka. Tiga faktor inti ini tak
diimplementasikan oleh Marni dan Rohmat pada pernikahannya. Ditambah lagi
dengan sikap Rohmat yang seakan bebas menilai istrinya sendiri tanpa adanya
empati, upaya verifikasi, dan rasa sayang. Sehingga, kata “cerai” jadi lebih
mudah diucapkan.
Ketika menjalin ikatan pernikahan,
suami-isteri seharusnya sudah mampu menerima perihal kekurangan pasangan
masing-masing, termasuk latar belakangnya. Bukan hanya perempuan yang bisa
dinilai dari masa lalunya, tetapi laki-laki juga berhak dinilai dari masa
lalunya. Dengan masa lalu yang buruk, seseorang tak selamanya bisa divonis
buruk pula. Ketahanan keluarga yang kuat bisa dibangun jika suami-istri saling sinergi
memperkokoh pondasi pernikahan. Sikap saling percaya, saling dukung, dan saling
terbuka adalah materialnya. Itu semua bisa dilakukan dengan upaya komunikasi
yang efektif.
Kini, Marni kembali bekerja di bar
tersebut, Marni terus memelihara keyakinan bahwa suatu malam suaminya akan
muncul, lalu mereka akan memulai semuanya dari awal. Dalam penantiannya, ia
masih kukuh pada janji yang tak pernah diucapkannya. Ia tak mengenakan gincu.
Seorang gadis dua belas tahun yang baru bekerja di sana pernah menanyakan
mengapa ia tak bergincu, dan Marni menjawab:
“Gincu ini merah,
Sayang, dan itu hanya untuk suamiku.” (Kurniawan, 2015)
Selepas bercerai, Marni akhirnya kembali
bekerja di bar. Eka Kurniawan tak menjelaskan alasan detail mengapa Marni pada
akhirnya kembali mengais rezeki di sarang lendir itu. Ia menutup cerita epic
ini dengan sikap Marni yang masih terus berharap suaminya datang untuk
menjemputnya. Ia berjanji tak akan menggunakan gincu merah. Menurutnya, ia akan
mengenakan perona bibir merah itu hanya untuk suami tercintanya.
DAFTAR PUSTAKA
Syuqqah,
Abu. 2000. Kebebasan Wanita, Jilid 5. Jakarta: Gema Insani Press.
Cahyaningtyas
A, Tenrisana AA, Triana D, dkk. 2016. Pembangunan Ketahanan Keluarga
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jakarta: CV.
Lintas Khatulistiwa.
Devito,
Joseph A. 2016. Komunikasi Antarmanusia. Tangerang: Karisma Publishing
Group.
Kurniawan,
Eka. 2015. Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.
Yogyakarta: Bentang Pustaka.
McCubbin,
Joy, C. B., Cauble, A. E., et al. 1988. Family Stress and Coping: A Decade
Review. Journal of Marriage and the Family, 42, 855–871.
Rakhmat,
Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Post a Comment for "Relasi Gender dan Ketahanan Keluarga pada Cerpen “Gincu Ini Merah, Sayang” Karya Eka Kurniawan"
Post a Comment